Saat itu usianya baru sekitar tujuh tahun. Dengan wajah polos dan tawa lepas, ia berkata di hadapan keluarganya, “Kalau besar nanti, aku mau nikah sama orang kaya aja. Biarpun tua, yang penting tajir!”
Tawa pun pecah. Lucu, menggemaskan, khas anak kecil yang belum tahu rumitnya hidup dan dalamnya makna pernikahan. Tak ada yang menganggap serius ucapannya—semua menganggapnya sekadar candaan bocah yang sedang berceloteh sembarangan.
Tapi waktu berjalan. Bocah itu tumbuh menjadi gadis remaja, lalu menjadi wanita dewasa. Dan entah bagaimana, candanya dulu seperti menjadi naskah takdir yang ia jalani. Ia benar-benar menikah dengan pria yang sangat kaya… dan sangat jauh lebih tua darinya.
Orang-orang kaget. “Wah, beneran terjadi ya! Dulu cuma bercanda, sekarang jadi nyata.”
Namun di balik kisah yang tampak glamor itu, ada pertanyaan yang tak semua orang berani ajukan: Apakah ia bahagia?
Lebih dari Sekadar Uang
Kita tidak sedang bicara benar atau salah. Tidak juga sedang menghakimi pilihan seseorang. Karena sejatinya, setiap orang berhak memilih jalan hidupnya masing-masing. Tapi yang perlu direnungkan adalah: jangan-jangan kita terlalu fokus pada ‘apa yang terlihat’, dan lupa pada ‘apa yang dirasa’.
Benar, pria itu memberinya rumah mewah, mobil mahal, dan segala fasilitas. Tapi di balik pintu rumah besar itu, adakah pelukan hangat? Adakah teman bicara yang sefrekuensi? Adakah tawa yang tulus, bukan sekadar basa-basi?
Menikah Bukan Transaksi
Jika sejak kecil seseorang tumbuh dengan pemahaman bahwa menikah itu adalah solusi ekonomi, maka ia bisa dengan mudah terjebak dalam logika transaksional. “Saya kasih wajah muda, kamu kasih uang. Selesai.”
Tapi hidup bukan kontrak kerja. Hidup berumah tangga adalah soal komitmen, perasaan, perjuangan, dan kebersamaan dalam suka dan duka. Dan semua itu tidak bisa dibeli. Bahkan oleh orang terkaya di dunia sekalipun.
Kenyataan Tidak Selalu Seindah Canda
Mungkin dulu candanya terasa ringan. Tapi ketika dijalani, tidak semua sesuai harapan. Perbedaan usia yang jauh kadang menciptakan kesenjangan pikiran dan perasaan. Satu ingin jalan-jalan, yang satu sudah kelelahan. Satu ingin bercerita, yang satu lebih suka diam. Dan di tengah semua itu, hati bisa merasa sepi walau dikelilingi kemewahan.
Jangan Ajarkan Anak Bermimpi Dangkal
Canda bocah itu mungkin lucu. Tapi bisa jadi itu cerminan dari apa yang sering ia dengar atau lihat. Maka sebagai orang dewasa, mari kita bijak. Ajarkan anak-anak, khususnya anak perempuan, bahwa hidup itu bukan sekadar tentang siapa yang punya uang paling banyak, tapi siapa yang bisa menghargai dan mencintai dengan tulus.
Ajarkan bahwa pernikahan bukan tempat “menumpang hidup”, tapi ladang perjuangan bersama. Dan bahwa cinta yang dibangun karena harta bisa mudah retak saat harta itu tak lagi ada.
Penutup: Ketika Bahagia Tak Bisa Dibeli
Cerita gadis kecil itu adalah pengingat bagi kita semua. Bahwa tidak semua yang terlihat indah itu benar-benar membahagiakan. Dan tidak semua candaan masa kecil patut dijadikan kenyataan masa dewasa.
Karena pada akhirnya, rumah yang paling nyaman adalah rumah yang diisi cinta. Bukan sekadar uang.
By: Andik Irawan